Okay, guys.... balik lagi sama aku yang akan berbagi cerita bersama kalian... cerita ini sudah sangat lama dan hampir manginjak waktu 1,5 tahun yang lalu...
Tanpa banyak panjang lebar, langsung saja kita menuju ke cerita yang akan kalaian baca. boleh disimak dan diamati, tapi jangan ditiru ya, guys... 😀😀😀😀
Aku dan Istanbul
RABU, 27 MARET 2017
11.48 PM
Jam tangan yang ku
letakkan di atas meja belajar telah menunjukkan tengah malam, tetapi mataku
masih terjaga sejak aku merebahkan tubuhku di atas kasur yang begitu empuk ini.
beberapa kali aku berusaha untuk menidurkan diriku untuk menjaga stamina yang
akan terkuras pada besok hari. Sayangnya, otak dan tubuhku kali ini tidak mampu
berkerja sama.
“Zub, nggak bisa
tidur nah aku. Kamu udah tidur kah?” kata temanku yang terlihat sama seperti
diriku yang masih dalam keadaan terjaga. Bedanya hanya satu, saat aku terjaga
aku hanya diam tanpa bergerak banyak, lain halnya dengan temanku yang terjaga
tetapi terlihat sangat gelisah menunggu waktu itu tiba.
Aku ingin menjawab
pertanyaan yang baru saja ia lontarkan terhadapku, sayangnya aku terlambat
karena sekarang ia telah berjalan ke arah dimana pintu terpampang dengan jelas.
Aku hanya berpikir bahwa ia sedang mencari temannya yang lain dan kemudian
membangunkannya. Tepat. Dugaanku memang sangat tepat bahwa temanku berjalan
keluar untuk membangunkan teman-teman yang lain karena aku mendengar suara
berisik di depan pintu kamarku. Walaupun tempat tidurku tidak berada di sebelah
pintu, akan tetapi suara heningnya malam tentu saja akan membuat suara merambat
lebih cepat dengan pemantulan yang lebih baik daripada di saat siang hari.
Aku terbangun dari
tidurku saat selimutku terasa terangkat dengan sendirinya kemudian menghilang
dari atas kasurku sehingga udara dingin menyambut kakiku yang tidak memakai
kaos kaki.
“Zubai, ayo bangun
terus siap-siap,” ucapnya membuatku duduk dari posisi berbaringku dan
menatapnya dengan sayu. “Memangnya ini jam berapa, Is?” tanyaku saat ia berdiri
ingin meninggalkanku. Bukannya menjawab pertanyaanku tapi ia melempar bantal
yang ada di depanku tepat mengenai mukaku. Setelah itu ia langsung pergi
menjauh dan ketawa pelan karena tertahan oleh tatapanku yang seakan-akan ingin
membunuhnya.
Aku meraih jam tangan yang aku letakkan di atas meja sebelum aku
tidur malam tadi. Mataku membulat sempurna ketika melihat angka yang
ditunjukkan oleh jarum jam tersebut menunjukkan pukul 1. 15 dini hari. Baiklah,
sepertinya aku memang harus bangun dan bersiap-siap karena pasti sebentar lagi
bus yang akan membawa kami menuju bandara akan segera datang. Aku melakukan
segala aktivitas persiapannya dengan sedikit terburu-buru karena bus yang
menjemput kami telah sampai dan kini sedang berada di depan lobi sekolah.
Aku sedikit berlari sambil
menggeret koper yang berada di sampingku. Dengan napas yang terengah-engah
akhirnya aku sampai di lobi asrama dengan tepat waktu. Walaupun dengan keadaan
yang agak sedikit berantakan, setidaknya aku masih dapat membenahi pakaianku
yang sedikit kacau. Kaos kaki, jaket, bahkan beberapatas kecil masih terlihat
berantakan di tanganku. Ku pakai satu persatu dari jaket hingga kaos kaki yang
berada di tanganku, kemudia aku membenarkan posisi tas kecil yang aku bawa ke
dalam koper agar terlihat lebih rapi.
***
08.45 AM
“Akhirnya,” ucapku sedikit keras sembari menghembuskan napas lega
karena sekarang aku sudah menginjakkan kaki di bandara Internasional Soekarno
Hatta.
Aku masih mengikuti arah mereka semua dan apa-apa saja yang harus
dilakukan oleh semua oerang yang baru sampai di bandara. Maklum saja jika aku
terlihat seperti orang kampungan karena faktanya memang aku dari kampong dan
ini adalah pertama kalinya aku menaiki pesawat terbang. Ada rasa bangga
terbesit di dalam hatiku karena aku mampu menginjakkan kakiku di Ibu Kota
Indonesia, Jakarta.
Kami semua termasuk aku juga yang berada di sana terus saja
bercanda tanpa mengenal lelah, beberapa lelucon lucu pun juga ikut aku
lontarkan untuk menambah hangatnya suasana pertemanan. Aku menyeka air mata
yang terdapat diujung mataku akibat tertawa yang tidak mampu untuk aku tahan
lagi. Sungguh, bahagia bercampur haru telah aku rasakan saat ini.
“Ra, akhirnya kita sampai juga di Jakarta,” ucapku kepada temanku
yang biasa di panggil dengan Nura.
“Iya, Zub. Nggak nyangka aku kalau kita bisa ke sini sama-sama,”
jawabnya tidak kalah bahagia dari aku. Aku tidak menjawab ucapannya lagi, hanya
mampu menganggukkan kepala ketika mendengar suaranya yang mulai samar menjauh
di belakangku.
Sekarang aku atau lebih tepatnya kami semua berada di Menara 165
yang terletak di Jakarta Selatan. Selain sebagai hotel, menara 165 juga
merupakan pusat pendidikan bisnis yang disebut dengan ESQ Bussiness School
yangmerupakan sekolah tingkat perguruan tinggi yang menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan.
Di dalam menara 165 tersebut, kami semua mengadakan seminar tentang
betapa pentingnya kehidupan, perubahan, dan karakter-karakter yang harus
ditanamkan pada setiap individu yang akan menjadi penerus bangsa. Ada satu
kutipan yang selalu aku ingat sejak saat itu hingga saat ini ketika aku
mendapatkan sebuah kesulitan yang hampir membuatku putus asa. Kutipan itu
adalah: “Hiduplah kalian layaknya ikan salmon yang selalu berusaha dengan
gigih melawan derasnya air yang ada dilautan untuk bertahan hidup. Dilahirkan
dari parairan sungai, tetapi hidup di samudera yang luas kemudian kembali lagi
ketika akan melahirkan. Itlah perjuangan hidupnya agar ia mendapatkan keturunan
yang kuat. Maka, brgitulah kita seharusnya dimana kita harus keluar dari zona
nyaman untuk mendapatkan kualitas hidup yang jauh diatas standar rata-rata
orang kebanyakan.” Sungguh, kata itu sangat menggugah hati dan membangkitkan
semangat bagi para pejuang untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik lagi
dari sebelumnya.
Hari pertama di Jakarta kami lewati dengan berbagai macam aktivitas
selain seminar dan permainan. Berbicara tentang permainan, maka aku adalah
orang pertama yang selalu unjuk tangan katika ditanya siapa yang mau maju
kedepan untuk melakukan percobaan bahkan sesekali aku menjadi bahan tertawaan
teman-teman yang lain hanya karena uji percobaan ku yang gagal total. Tapi, aku
bahagia dengan itu semua. Hingga semua rangkaian acara pada hari itu selesai.
“Zub, waah kamu keren banget ya. Berani-beraninya maju ke depan
dengan tampang nggak berdosa hingga semua orang tu ngetaaain kamu loh, Zub,”
kata temanku yang bernama Ika ketika berjalan mengiringi langkahku menuruni
anak tangga.
“Haha, santai aja kali. Aku suka kok diketawain, hitung-hitung cari
pahala bikin orang bahagia,” ucapku sembari tertawa renyah.
“Emang kamu nggak malu kah, Zub?” tanyanya lagi dengan wajah
sedikit penasaran.
“Ngapain harus malu. Toh, aku nggak malu-maluin juga kan. Jadi mah
santai aja,” jawabku lagi dengan wajah santai tanpa peduli tanggapannya.
“Huh, susah kalo udah ngomong sama orang aneh kaya kamu, Zub,”
jawabnya kesal sembari berjalan mendahuluiku.
“Yeay, bukannya dari dulu kamu udah tahu kalau aku emang aneh,”
jawabku lagi dengan senyu yang semakin
membuatnya kesal ketika berbalik menatapku.
Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang terkadang seperti
anak-anak itu. Dan aku juga memang sangat suka jika membuat orang kesal
denganku. Walaupun begitu, aku tak pernah membuat mereka marah karena
keusilanku yang suka menggoda mereka.
***
Hari kedua di Jakarta.
“Nitaaaaaaaaa, ayo bangun,” ucapku sedikit berteriak kepada temanku
yang masih saja bergulung dengan selimut tebalnya hingga ia terbangun mendengar
suaraku yang beberapa kali membangunkannya. Dengan langkah kesal, iya
menyisihkan selimutnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Lain denganku yang sudah siap menuju ruang makan untuk mengambil
sarapan pagiku. Perutku yang sudah meminta jatah untuk segera aku isi sehingga
tanpa peduli dengan mereka yang masih saja bersiap-siap dan beberapa yang asik
dengan ponselnya masing-masing membuatku langsung menuju rung makan tanpa omong
kosong.
“Oke teman, aku duluan ya, guys,” ucapku kepada teman
sekamarku sebelum aku menutup pintu kamar.
“Oke, Zub. Makan yang banyak ya,” jawab Noni samar-samar di balik
pintu yang sudh tertutup dengan rapat.
Setelah itu aku selesai melakukan aktivitas yang tidak boleh
terlewatkan, aku langsung kembali ke kamar untuk bersiap-siap dengan agenda
yang akan kami lakukan hari ini.
Kembali berkutat dengan pesan-pesan lawak yang kami lakukan secara
diam-diam melalui social media. Sesekali kami tertawa bersama ketika ada
hal-hal yang kemungkinan mengundang tawa semua orang, bahkan akupun juga ikut
tertawa ketika melihat apa yang mereka tertawakan. Sungguh, mereka semua sangat
kekurangan pekerjaan hingga teman kami yang sedang tertidur selama perjalanan
mereka abadikan kemudian mereka sebarkan ke dalam pesan grup hingga kami sampai
tujuan.
Hari ini, kami bersenang-senang tetapi sambil memperlajari sejarah
yang diceritakan oleh juru jalan yang kami ikuti. Dari tempat satu hingga
menuju tempat yang lainnya.
“Zub, naik sepedaan yuk?” ucap Nura ketika menghampiriku sembari
menunjuk sepeda yang terpajang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku hanya
mengangguk sebagai tanda bahwa aku menyetujuinya. Aku pun langsung menarik
tangannya menuju tempat yang ia tunjuk beberapa saat yang lalu. Setelah kami
sampai ditempat tersebut, kami memilih sepedanya dan memakai topi yang
diberikan oleh orang yang menyewakan sepedanya. Aku memakai topi warna putih
dan temanku memakai topi warna merah. Kami membawa sepedanya ke tengah lapangan
yang dikelilingi oleh museum Fatahillah.
Sayangnya, kejadian menggemparkan rombongan kami pun terjadi akibat
kelakuanku dengan temanku yang bersepedaan. Aku berteriak ketika didepanku
terdapat temaku yang bersepeda dengan lajunya mengarah ke arahku, disamping
kakiku yang pendek sehingga aku tidak mampu mengontrol sepeda yang aku bawa,
rasa terkejutku juga membuatku kehilangan kendali sehingga aku dan temanku yang
bernama Rizal Said pun terjatuh dari sepeda. Kakiku sedikit terkilir karena
tertindih oleh sepeda yang aku gunakan tadi. Sakit? Tentu saja. akan tetapi,
rasa malu yang aku dapatkan membuatku kehilangan rasa sakit yang tergantikan
oleh rasa malu. Kejadian itu pula yang membuatku berhenti untuk bermain sepeda
dan lebih memilih untuk berfoto-foto ria dengan sahabat-sahabat terbaikku yang
sedari tadi hanya menonton kejadian yang menimpa diriku. Sungguh memalukan, pikirku.
***
Dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan berikutnya, diisi dengan
beberapa canda tawa baik itu tentang apa yang kami lihat maupun tentang
kejadian yang baru saja menimpa diriku pun mereka buat lelucon-lelucon yang
sesekali membuatku tersenyum malu.
“Masih sakit lah, Zub?” tanya Iis dengan nada sedikit mengejek
kemudian diirngi oleh tawa mereka.
“Ah, itu nggak ada apa-apanya. Kecil, bentar lagi juga sembuh,”
sanggahku samb il menjentikkan jariku bahwa aku tidak merasakan sakit walaupun
faktanya bahwa kakiku memang sangat sakit yang aku sadari bahwa terdapat
sedikit memar pada bagian tulang keringnya.
“Alah. Sok kuat kam, Zub” celetuk temanku lagi yang bernama Nura.
“Sudahlah, jangan mengejek yang lebih tua,” sanggahku lagi membela
diri.
“Dasar tuha,” ucap Nura dengan penuh penekanan pada kata tuha
kemudian diiringi oleh sorakan mereka berempat.
Selalu saja aku yang terpojokkan disini. Sabar, Zub.
***
Aku bergegas mengeret koperku turun dari pesawat terbang. Rasa
dingin pun sudah mulai menusuk masuk ke dalam hidung. Udara disini memang
benar-benar sangat dingin bahkan mengalahkan dinginnya AC yang ada di
sekolahku. Dengan sedikit ragu aku bertanya dengan temanku mengenai suhu lokasi
yang kami tempati sekarang.
“Berapa suhunya sekarang, say?” tanyaku kepada siapa saja yang mau
menjawab.
“Lima derajat selsius, Zub,” jawab salah satu temanku yang
sepertinya sedang duduk di depan.
Aku sedikit mengeratkan jaket yang kini aku kenakan karena udara
semakin dingin menusuk tulang. Sedikit bergetar yang kurasakan ketika aku
berbicara.
“Zub, ini pake aja punya ku. Aku bawa dua kok, jadi ini bisa kamu
pakai,” ucap temanku sembari memberikan shall kepadaku. Dengan ragu-ragu aku
menyambut shall pemberiannya. Sebelum aku menegangnya dengan sempurna, aku
kembali menatapnya dengan tatapan bertanya apakah dia yakin ingin meminjamkan
shal itu kepadaku. Dan tentu saja ia menganggukkan kepalanya tanda setuju
dengan keputusannya untuk meminjamkan shallnya kepadaku.
“Thanks, Ka,” ucapku berterima kasih kepadanya diiringi dengan
senyuman berterima kasih. Ya, walaupun aku hanya menggunakan jaket yang tidak
terlalu tebal, setidaknya aku masih bisa mengurangi rasa dinginku dengan
menggunakan shall ini.
***
“Cuss, guys. Ayo kita turun, udah sampai,” teriakku dengan semangat
sambil berdiri dan berjalan mendekat ke arah pintu bus untuk segera keluar.
Rasa tidak sabarku bersarang di kepalaku ketika turun dari bus. Menikmati
pemandangan yang begitu indah terpampang nyata di depan mata.
“I’m coming, Turki,” ucapku ketika mendekat ke arah air
mancur yang menghiasi taman Blue Mosque.
“Zub, kam tuh selalu hiperaktif dimanapun berada, semangat banget?”
kata salah satu temanku yang berjalan mendahului diriku.
Aku tidak ingin menanggapi ucapannya sehingga aku hanya
menghiraukannya saja. yang aku tahu bahwa aku datang kesini kan buat mencari
ilmu dan mencari ilmu itukan harus semangat dan bahagia. Karena semangat yang
sangat menggebu-gebu di dalam diriku membuatku berjalan dengan tergesa-gesa
untuk mendekati air mancur yang begitu cantik tanpa memperhatikan jalan yang
aku pijak. Bahkan sesekali aku berbicara dengan temanku yang berada di
belakangku sambil berjalan mundur.
“Aw!” pekikku ketika tanpa sengaja kakiku tersandung oleh kursi
taman yang ada dibelakangku hingga aku terduduk di kursi itu. Beberapa temanku
ikut tertawa melihat kelakukan konyolku hari ini. karena aku telah beberapa
kali ditertawakan untuk hari ini, setidaknya aku harus memasang wajah datarku untuk
mengurangi sedikit rasa malu yang menimpa diriku.
Aku pun segera memanggil temanku yang lewat di depanku untuk
dimintai pertolongan. Bukan pertolongan untuk bangkit dari rasa Maluku, tetapi
untuk aku mintai tolong agar dia mau mengambil fotoku di depan air mancur itu.
“Den, bisa minta tolong nggak? Ok. Tolong fotokan aku di situ,”
ucapku sambil memberikan ponselku kepadanya tanpa menunggu persetujuan darinya.
Ia juga hanya mengangguk tanpa menjawab pertanyaan dariku.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya setelah aku menerima kembali
ponsel yang tadi aku berikan kepadanya untuk mengambil gambarku.
“Lumayan. Thanks, Den.”
“Hmm,” jawabnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada ku.
Membuatku kesal aja.
Kami menjelajahi masjid peninggalan bangsa Romawi yang bernama Blue
Mosque. Sesungguhnya nama masjid itu bukan Blue Mosque, tetapi karena warna
mesjidnya yang dominan dengan warna biru sehingga disebut dengan Blue Mosque.
Saat itu hari jumat sehingga sekitar masjid itu sangat ramai
pengunjung, ditambah dengan waktu yang menunjukkan hampir tengah hari sehingga
banyak orang yang berbondong-bondong memasuki masjid itu, baik laki-laki maupun
perempuan untuk melakukan shalat Jumat berjamaah. Begitu juga dengan kami yang
ikut serta di dalam sana.
Sebenarnya, aku dan teman-temanku telah terbiasa ikut serta salat
berjamaah, sayangnya ada satu kejanggalan ketika kami ikut salah jumat
berjamaah disana, merasa tidak khusu karena bahasa yang mereka gunakan bukan
bahasa inggris melainkan bahasa Turki yang sama sekali tidak mampu untuk kami
pahami apa maksud dari khutbah yang disampaikan sehingga kami para perempuan
memutuskan untuk shalat berjamaah lebih dulu tanpa mengikuti imam utamanya.
“Yuk, kita keluar duluan dan nunggu cowoknya diluar aja,” kata guru
yang membimbing kami selama disana.
Kami pun segera beranjak dari tempat kami salat dan meninggalakan
tempat kosong untuk segera diisi oleh makmum lainnya yang berada dibelakang
kami. Mereka memang tertib karena tanpa diminta pun mereka langsung mengisi
shaf kosong yang berada di depan mereka. Sepertinya Indonesia wajib mencontoh
sikap seperti ini.
Setelah selesai melakukan salat jumat berjamaah, kami semua kembali
melanjutkan perjalanan menuju tempat makan. Karena waktu memang telah menunjukkan
waktu makan siang dan perut ini memang sudah meminta jatahnya untuk segera
diisi secepatnya.
“Yeay, makan,” ucapku dengan semangat setelah mendengar kata makan
dari guru pembimbing kami. Ditambah dengan tutran beliau jika kami semua akan
makan di warung Nusantara dimana semua makanan yang dijual disana merupakan
makanan dari Indonesia yang memang dimasak langsung oleh orang Indonesia. Dan
sepertinya, rasa memang tidak bisa dibohongi sebagaimana rasa makanan yang
begitu lezat.
Setelah selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan kami semua
menuju beberapa tempat lagi sebelum pulang ke hotel. Pembimbing kami mengatakan
kepada kami bahwa besok hari kami akan melakukan kunjungan ke beberapa lokasi
pendidikan seperti sekolah, kampus, nahkan perpustakaan dan pusat-pusat
penelitian dari para ilmuan yang Berjaya pada masa Romawi.
***
Tidak terasa beberapa hari telah kami lalui di Istanbul, Turki. Dan
hari ini kami semua akan pergi ke taman Tulip dimana terdapat banyak sekali
bunga tulip disana, tidak hanya itu, pemandangan yang sangat indah akan
disuguhkan untuk kami semua. Tak akan ada yang kecewa jika kesana karena kalian
semua akan merasa senang dan terhidur ketika kaki kalian telah menginjak taman
tersebut. Ratusan bunga Tulip bermekaran, bukan ratusan tetapi ribuan bahkan
mungkin jutaan. Entahlah, aku tidak berniat untuk menghitung seberapa banyak
bunga Tulip yang ada disana, yang aku inginkan adalah menyegarkan pikiranku
setelah beberapa hari yang lalu kami dihadapkan oleh pelajar-pelajar dari Istanbul
yang berada disekolahnya dengan bahasa yang sama sekali tidak mampu kami
pahami. Kami hanya dapat berbicara dengan beberapa orang saja yang mengerti dan
paham bahasa Inggris, sisanya kami hanya berinteraksi menggunakan bahasa tubuh.
Sedikit sulit, tapi itu sangat menyenangkan. Dan hari ini akan semakin
menyenangkan karena agenda kami adalah liburan dan bersenang-senang.
Berbagai macam warna bunga Tulip ada disana, ada yang berwarna
merah, putih, kuning, ungu, dan banyak lagi. Seskali kami mengambil gambar dari
bunga itu. Bahkan tidak lupa pula untuk kami mengabadikan diri kami kedalam
sebuah gambar digital bersama dengan bunga-bunga Tulip yang terangkai dengan
indahnya demana-mana. Sebelum pulang kami semua juga sempat mengambil gambar
bersama dengan latar tulisan Istanbul yang dikelilingi oleh bunga Tulip.
Pemandangan yang sangat indah untuk dijadikan latar belakang.
“Ayo nak. Semuanya merapat, kita foto-foto dulu sebelum lanjut
ketempat berikutnya yang akan lebih menyenangkan,” ajak guru pembimbing kami
agar kami yang tadinya memencar kesana kemari langsung segera merapat.
“Aku ditangah!” ucapku sedikit berteriak sambil berlari-lari agar
dapat posisi di tengah. Sayangnya, saat aku sudah tiba ditempat, posisi
ditengah telah diisi oleh temanku sehingga aku hanya duduk di samping guru
pembimbing kami semua. Sedikit kesal karena gambar kali ini posisiku agak
kesamping dari biasanya. Tidak apa-apa aku di samping, yang penting aku masih
termasuk di dalam gambar tersebut dan masih menjadi bagian dari mereka semua.
“Zub, ayo!” ucap temanku sambil menarik tanganku agar aku mengikuti
langkahnya. Dengan semangat aku pun mengikutinya dengan kebiasaan ku yaitu
berbicara sambil berjalan mundur. Dan seperti biasa pula aku tersandung
sesuatu, bedanya jika awal aku menginjakkan kaki di taman Blue Mosque aku
tersandung kursi taman kemudian terduduk maka kali ini aku tersandung batu dan
menabrak orang asing yang badannya sedikit gempal.
“Ops. Sorry, Sir,” ucapku dengan wajah sangat malu kepada
orang yang aku tabrak.
“No problem, girl. Be carefull later,” jawabnya ramah.
“Thank you, sir,” jawabku lagi sambil menunduk menahan malu
katika ia hendak berlalu meninggalkanku. Oh Tuhan, ini begitu sangat memalukan.
Sedangkan temanku yang melihat tingkah konyolku hanya kembali tertawa,
sedangkan aku? Tentu saja masih sangat malu hingga tiba di luar gerbang. Aku
sangat yakin jika saat itu wajahku pasti sangat memerah karena menahan malu
yanmg sangat luar biasa. Tapi, ada rasa sedikit bahagia yang menyelinap ke
dalam relung hatiku ketika aku malau dan mereka tertawa bahagia menertawakanku.
“Sudahlah, aku pasrah,” ucapku dengan pasrah sambil menempelkan
pantatku ke kursi empuk yang ada di bus kemudian mneyenderkan badanku. Ku
ingat-ingat kembali kejadian memalukan apa saja yang telah aku lakukan selama
berada di Istanbul ini hingga suara guru pembimbing kami yang biasa dipanggil
Miss Rinda itu membuyarkan lamunanku.
“Alright. All of you complete, guys?” tanyanya memastikan
bahwa semua siswa telah masuk ke dalam bus.
“Yes, Miss,” jawab kami serentak. Tetapi, walaupun kami
telah menjawab bahwa semuanya telah lengkap, beliau tetap saja menghitung
kembali untuk emmastikan bahwa semuanya memang benar-benar lengkap.
“Okay, setelah ini kita akan makan siang dulu, setelah makan siang
baru kita akan melanjutkan perjalanan kita menuju laut Marmara sambil menaiki
kapal,” tutur beliau yang ku sambut dengan gembira. Sayangnya, beberapa dari
kami sudah ada yang terlihat lelah sehingga ia tidak begitu menghiraukan apa
yang diributkan oleh kami semua, lebih tepatnya oleh diriku yang berada
disampingnya.
Kali ini, kami kembali makan siang di warung Nusantara, tempat
makan yang menjadi kesukaan kami semua. Dan seperti biasanya, aku merupakan
salah satu diantara kami semua yang makannya paling lahap.
“Kamu tuh doyan apa lapar, Zub?” tanya temanku Dita dengan heran
karena aku menhabiskan makanan yang ada di depanku dengan cepat.
“Entahlah, mungkin keduanya,” jawabku enteng. Kemudian aku meminta
temanku untuk mengabadikanku ke dalam sebuah gambar sebagai bukti bahwa aku
telah makan banyak. Bukan sesuatu yang membanggakan memang, tapi aku bangga
dengan hal itu. Ketika banyak orang yang tidak menghabiskannya, maka aku akan
jdi orang yang menghabiskan makananku dengan cepat.
***
Makan siang telah usai, perutpun telah berhenti untuk berdemo
meminta jatahnya. Dan sekarang saatnya melanjutkan libutan yang sempat tertunda
oleh kewajiban kami sebagai manusia biasa yang memerlukan asupan gizi sebagai
bahan bakar.
Selanjutnya, kami semua akan menuju pelabuhan dimana kami akan
dibawa mengarungi lautan Istanbul yang memisahkan antara benua Asia dan Eropa.
Laut Marmara. Laut yang menjadi perbatasan antara laut biasa dengan laut mati.
Kenapa bisa dikatakan sebagai laut mati? Dari penjelasan yang aku tangkap, laut
itu disebut sebagai laut mat karena kadar garamnya yang sangat tinggi sehingga
tidak memungkinakan untuk makhluk laut seperti ikan dan tumbuhan laut untuk
dapat hidup di sana. Dan kini, aku tengah berada diantara lautan tersebut.
Jika di Indonesia, maka kami akan berbondong-bondong menuju bawah
kapal untuk berlindung dari panasnya sinar matahari pada siang hari agar tidak
terbakar kulitnya. Akan tetapi, lain hal nya saat ini katika matahari tepat
berada di atas kepala kami, kami semua berada di bawahnya untuk mendapatkan
kehangatan tersendiri. Itu semua karena terlalu dingin.
“Zub, ayo foto,” ajak temanku ketika menhampiriku yang sedang dudk
bersama dengan Rizal Said sambil bertukar cerita ditambah dengan leluconnya yang
membuat siapa saja pasti akan tertawa. Iis mencondongkan kameranya ke arah kami
bertiga untuk diabadikan.
“Buncisssss,” ucap Rizal panjang memberi kode untuk tersenyum
pepsodent.
“Lagi?” kata Iis menawarkan. Dan tentu saja dihadiahi anggukan
olehku. Siapa yang tidak mau jika di ajak foto gratis.
Setelah selesai berfoto-foto ria, Iis mengambil ponselnya untuk
melihat hasil jepretannya beberapa waktu yang lalu. Hasilnya pun tidak terlalu
buruk, dengan wajah yang ceria dan latar belakang yang begitu menakjubkan
menambah kesan bahagia ke dalam gambar tersebut. Aku hanya mampu tersenyum dan
tak mampu untuk berkata-kata lagi bagaimana caranya untuk mengungkapkan rasa
bahagia yang terpendam.
Tinggal beberapa hari lagi semua ini akan berakhir, dan kami
tentunya akan melanjutkan perjalanan kami dikota dan Negara yang berbeda. Baik
itu suasana maupun keadaannya. Tentu saja, hal ini tidak akan pernah kami
sia-siakan sehingga kami akan selalu membuat setiap detik yang kami lalui
bersama menjadi berharga dan dapat di kenang ketika kami telah meninggalkan
sekolah tercinta. Apalagi kalau bukan foto bersama.
“Aku di depan,” celetukku ketika mereka menyusun barisan agar rapi.
Dan tentu saja aku mengacaukan susunannya ketika aku mengambil posisi di depan
tanpa ada perintah ataupun aba-aba dari mereka.
Kali ini aku berada di depan, karena aku tidak ingin tertutupi oleh
mereka-mereka yang badannya jauh lebih besar daripada badanku. Sayangnya, aku
bersebelahan dengan orang yang lebih besar sehingga aku terlihat kecil dan
sulit untuk di temukan dalam waktu singkat.
Setelah selesai berfoto ria, kapal pun sampai di pelabuhan dan kami
pun juga berhamburan menuju tepi kapal untuk segera turun.
Ketika berjalan menuruni kapal, aku sesekali mendengar mereka
berbicara seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru dari
ibunya.
“Senangnya.”
“Airnya juga sangat jernih, terus bersih.”
“Lihat itu!”
“Wah, ubur-uburnya cantik.”
“Mana-mana?” tanyaku penasaran mendengar mereka berbicara tentang
ubur-ubur ketika sampai di pelabuhan tempat kami berhenti. Aku seketika diam
ketika melihat ubur-ubur dengan sangat jelas sedang berenang di dalam air yang
sangat jernih.
“Itu bisa nyetrum nggak, say?” tanyaku.
“Nggak tahu. Tanya aja sama ubur-uburnya,” jawab Nia.
Eh? Memangnya ubur-ubur bisa jawab kalau ditanya? Pikirku. Dan seketika itu juga aku merasa bodoh ketika disuruh
bertanya dengan ubur-ubur. Aku hanya tersenyum dan menghiraukan ucapan Nia tadi
kemudian menjauh dari gerombolan tersebut.
Hari telah menunjukkan sore dan kami semua akan segera kembali ke
hotel, karena besok adalah hari terakhir kami di Istanbul ini, dan besok kami
melakukan persembahan tarian Nusantara sehingga kami semua pulang lebih awal
dari biasanya agar dapat melakukan persiapan mala mini sebelum tampil esok
hari.
“Seperti biasa anak-anak, handphone kalian harus di kumpul sebelum
pukul sepuluh malam nanti,” ucap guru pembimbing kami memperingatkan kami semua
untuk disiplin.
Malam pun telah menyapa kami semua, dengan langit yang sangat cerah
bertabur bintang-bintang yang tidak terlalu Nampak akibat cahaya jalanan yang
begitu terang. Malam terakhir memang terasa begitu panjang untuk dilewatkan.
Tidak terasa satu minggu aku lewati disana bersama dengan teman-temanku.
Tertawa, bercanda, berbagi cerita terhadap orang lain, bahkan mengambil banyak
pembelajaran yang tidak mampu untuk aku tuangkan ke dalam sebuah tulisan
singkat ini.
Esok hari adalah hari terakhir ku berada di Turki sebelum kami
semua melakukan kegiatan suci di kota yang suci pula. Tak ada sedikitpun
kebahagiaan yang terlupakan di benakku. Malam yang selalu digin dengansuu
ruangan yang tidak pernah di naikkan oleh teman sekamarku, Yessi.
***
Hari yang berat sekaligus bersejarah bagi kami semua. Hari dimana
ditutup dengan berbagai pendidikan moral dan pengetahuan yang sangat luar
biasa. Kebersamaan yang telah terjalin antara kami dengan mereka harus
terpisahkan oleh jarak dan waktu, akan tetapi aku sangat yakin, jika semua yang
telah mereka berikan kepada kami itu adalah sesuatu yang sangat berharga yang
tak akan ternilai dengan seberapa lyra yang mereka dan kami punya.
Setiap pertemuan itu pasti aka nada perpisahan, begitu juga dengan
apa yang kami rasakan saat ini. Rasa rindu akan kebersamaan itu, beberapa kali
air mata menetes, akankah semua ini berakhir? Ya tentu. Tapi itu semua adalah
jalan yang harus aku dan teman-temanku tempuh untuk menjadi orang yang lebih
baik lagi.
***
Kamis, 6 April 2017
Waktu satu minggu memang waktu yang sangat singkat jika dilalui
secara bersama-sama. Tak aka nada rasanya kekeluargaan jika hanya canda tawa
saja yang tercipta tanpa adanya tangisan. Karena sebuah tangisan adalah perekat
kekeluargaan kita semua.
Berat hati rasanya melangkah meninggalkan Negara yang penuh
kekayaan ini, baik itu secara ilmu pengetahuan umum maupun ilmu agama. Tradisi
mereka yang begitu memukau membuat aku dan teman-teman yang lainnya merasa
betah berlama-lama. Akan tetapi, kami semua sadar bahwa ini adalah hasil manis
yang akan kami peroleh bagi kami kami yang selalu gigih dan bersabar dalam
melewati setiap ancaman dan rintangan dalam mencapai harapan dan cita-cita yang
mulia.
“Ayolah kawan, jangan sedih. Nanti, kalau ada rezkinya kita pasti
bisa kesini lagi,” ucap Nura yang berusaha untuk menghiburku ketika ia melihat
air mataku jatuh.
“Iya, Zubai. Jangan sedih, nanti kita ke sini lagi sama-sama,”
sambung Anti yang ikut serta menenangkanku.
“Makasih,” ucapku sambil menghapus air mataku dan kemudian
tersenyum kepada mereka.
Aku beruntung memiliki kalian,
ucapku dalam hati lalu menarik tangan mereka untuk segera menuju bus karena
kami akan segera menuju Bandara.
“Zubaidah. Take care for this flight. I know you are strong
woman and best girl. I trust you that
you can change the world to be better. And that’s all in your hand, I love you,
Zu,” ucap salah satu juru jalan kami selama di Turki.
Aku tidak sanggup untuk menahan air mataku lagi, aku menangis
dipelukannya karena kalimatnya.
“Love you too, Nad,” jawabku sembari melepaskan pelukan kami
berdua.
“Ayo, Zubai,” ajak guru laki-laki ku dan aku jawab dengan anggukan.
Sekali lagi aku memeluknya dan mengucapkan kalimat perpisahan yang
begitu menyayat hati. Tapi di sisi lain aku yakin bahwa ini semua adalah benar.
“See you again, Nad,” ucapku sambil melambaikan tanganku ke
arahnya.
“See you again, Zu. InsyaAllah,” jawabnya dengan
suara bergetar karena kau juga yakin bahwa ia juga sama sepertiku yang berat
untuk melepaskan.
Setelah cukup lama kami semua menunggu, akhirnya penerbangan ke
Madinah akan segera lepas landas. Aku yang berada dibalik jendela pesawat,
masih menatap nanar Negara yang begitu damai dan menenangkan untuk dikunjungi.
“Udahan, Zub. Nanti kesini lagi kalau ada rezkinya,” ucap Nisrina
teman yang duduk di sebelahku.
“Insyaallah,” jawabku singkat lalu aku bersender dan memejamkan
mataku untuk menenangkan pikiranku.
Turkey, wait for me. Because I will come here, later. Ucapku dalam hati.
Dan pesawat pun lepas landas meninggalkan Istanbul.
“See you, good bye Turkey,” ucap temanku yang berada di
sampingku.
***
Begitu berkesan jika diingat, hampir dua tahun yang lalu aku
menginjakkan kaki di sana bersama dengan teman-temanku keyika aku menginjak
kelas 11 SMA. Dan sekarang aku telah berada di perguruan tinggi untuk
melanjutkan belajarku, semua itu tinggallah kenangan manis yang akan selalu aku
kenang. Melihat dan menikmati betapa indahnya ciptaan Tuhan yang tersuguhkan
untuk manusia-manusianya yang mampu merawat buminya dan berhasil menjaganya.
Istanbul. Kota bersejarah dimana terjadinya penakhlukkan
Konstantinopel, kejayaan Islam yang begitu amat besar hingga menguasai hampir
sebagian eropa. Megukir cerita terhebat sepanjang sejarah.
Sekarang, aku memang bukan bagian dari sejarah hebat tersebut, tapi
aku adalah bagian dari orang-orang yang memiliki niat untuk belajar dari
sejarah demi membangun peradaban dunia yang lebih baik lagi. Terima Kasih.
Thank you so much bagi kalian yang udah meluangkan waktunya untuk membaca sekilas cerita yang sangat tidak jelas ini. tapi aku hanya punya harapan agar sekilas cerita tidak jelasku ini dapat memotivasi ataupun menggetarkan kalian semua bahwa hidup itu tidak hanya bahagia, tetapi juga ada berbagai macam rasa di dalamnya yang akan semakin menambah warna dalam kertas lukis kehidupan kalian semua... Mari kita jadikan sejarah pada zaman keemasan menjadi tombak bagi kita semua dalam memperbaiki zaman yang mulai sirna oleh budaya tak beretika...